Mencari Kata  “Pantang!”
Antara Polisi dan Kolor Ijo


Waktu kecil dulu di kampung, kata “pantang!” sering diucapkan oleh "Oppung Doli" atau "Oppung Boru" (kakek atau nenek), oleh "Damang - Dainang" (ayah dan ibu), dan/atau oleh Abang dan "Ito" (kakak), atau mereka yang lebih tua dari saya, untuk melarang atau mencegah ucapan dan perbuatan yang melanggar norma kesopanan. Tetapi, itu dulu! Sekarang kata itu seolah sudah hilang dari kamus lisan kita baik di pedesaan dan terutama di perkotaan. Hardikan “pantang” sudah digeser oleh “polisi” dan “kolor ijo”. Lihat saja, seorang ibu kalau menasehati bocahnya yang nakal sering diancam dengan:  “awas, polisi datang!”; seolah-olah polisi tukang menakut-nakuti anak-anak. Gadis remaja yang mulai doyan berdandan pun, dinasehati ibunya dengan latah, “awas, kalau kelihatan cakep, nanti dicolek ‘kolor ijo’”.

Apakah punahnya hardikan “pantang!” ada hubungannya dengan anarkisme, radikalisme, dan amoralitas yang fenomenal saat ini? Akhir-akhir ini sudah tak terbilang banyaknya perbuatan pantang yang terjadi di sekitar kita; seolah kita sudah tidak punya pantangan apa-apa pun lagi: saudara memperkosa saudara kandungnya, anak memperkosa ibu kandungnya, ayah kandung menjadi "suami" dari putri kandung dan menjadi ayah dari yang seyogianya cucu. Di Jawa, si Sumanto mengunyah-ngunyah daging mayat seorang nenek yang digalinya sendiri dari liang kubur lalu tulang-belulangnya dijadikan sop. Di Sumatera Utara seorang “Lae” membunuh ibu kandungnya. Di Jakarta sering ditemukan mayat orok dalam bungkusan plastik kresek di got atau bak sampah, dan ribuan kasus pantang lainnya. Banyak sekali wanita sekarang ini yang hamil tanpa suami, dan entah berapa banyak yang sudah tidak suci atau tidak perawan lagi. Ada juga kabar bahwa seorang lelaki telah menikah dengan sesama lelaki. Itu hanya secuil contoh. Saat ini korupsi menjadi gaya hidup di mana-mana yang dilakukan mulai oleh orang-orang “terhormat” sampai orang-orang yang tidak pernah ada yang menghormatinya. Korupsi ratusan ribu, jutaan, sampai miliaran rupiah. Seolah korupsi bukan perbuatan pantang.   

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III Tahun 2001, kata pantang tidak tegas diartikan sebagai kata larangan terhadap ucapan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau etika. Di halaman 826 dikatakan, kata pan.tang (jadi, bukan pantang) adalah hal (perbuatan dsb) yg terlarang menurut adat atau kepercayaan […]. Kalau kita teruskan membaca keterangan artinya dalam kamus “keramat” itu, mungkin kita akan sepengalaman dengan Salomo Simanungkalit dari KOMPAS yang pernah menulis dalam rubrik Bahasa, KOMPAS, Sabtu, 8 Mei 2004 halaman 12, ketika membahasakan notasi Trie Utami yang menjurii Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Waktu itu, Salomo Simanungkalit sengaja tidak mengutip makna ketiga kata notasi dari kamus itu, karena khawatir malah akan makin amburadul ceritanya.

Dalam KBBI kata pan.tang diartikan juga sebagai makanan (minuman dsb) yg terlarang bagi penderita suatu penyakit; makanan (minuman dsb) yg sengaja dihindari; pantangan […]. Artinya, malah dapat diartikan menjadi tidak pantang bagi yang tidak menderita suatu penyakit. Atau, bahkan dapat dikonotasikan sebagai kata yang pantang diucapkan, pantang disebarluaskan, atau pantang diajarkan. Jika kata “pantang” diartikan sebagai makanan dan minuman walaupun maksudnya untuk makanan dan minuman terlarang, pantaslah segala pantangan menjadi makanan dan minuman bagi para pelanggar hukum, norma, dan etika, serta koruptor. Tetapi, tak perlu gusar. KBBI bukan segalanya. Setiap kata punya makna konotasi, makna lain atau makna tersirat, dan setiap kata dapat diartikan dalam setiap konteks pemakaiannya dalam kalimat, malah itu yang lebih penting!

Memang akan sangat lucu jika kata “pantang” dimasukkan dalam kalimat-kalimat hukum positif dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang berlaku di negeri kita. Para anggota DPR RI pun, yang selain banyak bicara, dan salah satu kerjanya adalah menggodok rancangan undang-undang (RUU), akan kelihatan makin lucu dan aneh jika waktu merevisi sebuah draft RUU memasukkan secukupnya kata “pantang” ke dalam draft rancangan itu. Sebab jika begitu, kelak di dalam produk hukum yang mereka hasilkan akan banyak terdapat hukum-hukum positif dan peraturan tertulis yang berlaku yang berbunyi: “pantang” ini, “pantang” itu; “pantang” begini, “pantang” begitu, dan seterusnya.

Mungkin para tokoh agama harus sering-sering mengatakan kepada umatnya: “Pantang adalah sebagian dari iman!”.

Mari kembali berbudaya pantang dan gemar ”menghardik” anak cucu kita dengan kata ”Pantang!” atas segala pelanggarannya terhadap norma atau etika, demi membentuk moralitas dan nurani mereka sebagai generasi penerus. Amiin!!!  
(anaxianiphar@yahoo.co.id)


Jayapura, November 2006



Komentar

Postingan populer dari blog ini